Akan kutuliskan sebuah kisah seorang pemuda yang berasal dari daerah yang tak berkisah, hidup bagaikan air yang tak berarah, mengikuti liku kehidupan yang semakin parah, walaupun ia telah menjadi seorang yang menurutnya bersalah, tetapi tidaklah sang penciptanya menginginkan ia hanya pasrah.
Tebing curam nan cadas bagaikan jalan yang perlu dilaluinya setiap hari, tanggungan yang ada dipundaknya tak kurang dari empat orang tak berdaya. Bukan keinginannya ia menjadi orang pinggiran, bukan pula pilihannya untuk tak berusaha lebih keras, namun keadaan yang membayanginya setiap waktu setiap ia akan keluar rumah, setiap ia akan bekerja setiap ia akan makan, minum bahkan urusannya di kakuspun masih terbayang dengan jelas.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan pemuda ini, apa bayangan yang selalu mengikutinya, mengganggu pikirannya???
Ia pernah bercerita ketika hidup keluarganya tak serumit birokrasi yang ada, apakah ia terkena masalah uang? Ia hanya menggeleng ketika kutanya, lalu apakah yang membuatnya seperti itu, ia mendekat memberikan senyuman tipis yang kutahu itu hanya semua belaka.
“Aku takut kelak anak-anak, cucu-cucuku atau bahkan semua generasi bangsa ini kehilangan arah, arah yang sejatinya sudah jelas tertanamkan dengan jelas. Amar ma’ruf nahi munkar bahkan anak surau di kampungku pun tau saat aku kecil, namun melihat kondisi saat ini, ketika kesenangan, kekayaan, kekuatan, kekuasaan menjadi tolak ukur hidup makmur, hidup yang nikmat, itukah yang kau sebut dengan Kehidupan? Bahkan akidah pun kau gadaikan untuk hal semacam ini.”
Aku bingung…
Aku bingung bukan karena tak paham apa yang diungkapkanya, tetapi lebih kepada aku bingung kenapa aku juga menganggap hal itu adalah hal yang wajar saat ini, aku bingung karena belum melakukan apa-apa, aku bingung karena ia membuatku lebih bingung dengan ekspresinya yang hanya wajah polos namun serius, sejak kapan aku terjerumus akan hal ini.
Sudah kukatakan pada diriku berulang kali, jangan main api jika tidak terbakar pasti kau akan merasakan panasnya.
Jadi kenapa aku hanya tertegun mendengar perkataanya, aku bisu, aku tak bisa bergerak untuk sesaat, ketika sebuah tepukan mencapai pundakku.
“Tenanglah saudaraku waktumu saat ini masih ada, Yang Maha Berkehendak masih memberimu nafas, kenapa tak kau mulai dari saat ini?”
Saat itu air mata ini tak terasa jatuh, bagai tak kuasa melihat senyumnya yang ikhlas, aku tau ia melakukan ini bukan untuk dirinya, tapi untuk sesamanya yang masih keukuh dengan akidahnya Al-Qur’an dan Sunnahnya.
Pekanbaru, Kamis 15 Desember 2016 11.50 PM
Ketika aku mencoba…